Followers

Tuesday, December 27, 2011

There are no secrets in life, just hidden truths that lie beneath the surface

Semester 7 berakhir... At some point, aku sedar yang aku dah habiskan berbelas tahun kejar ilmu dunia. Tapi ilmu akhirat tak sebanyak mana sedangkan itu lebih penting.Bila diingatkan semula, aku rasa nak isolate diri sendiri.

Suddenly, the world became so small and most of the things i used to love seems meaningless. I feel like I have nothing to lose. Especially when you know that your relationship with God covers every single aspect of your life. I dream I'm floating on the surface of my own life. Watching it unfold. Observing it. I'm the outsider looking in. Too much things to be fixed.

Snow dah tebal. Get ready for boxing day..

Saturday, December 10, 2011

Setitik air mata isteri, suami disebat 100 kali?

"setitik air mata perempuan jatuh kerana lelaki yang dia sayang, lelaki itu akan disebat dengan tulang rusuk perempuan itu 100 kali di akhirat nanti"

Mungkin ada sesetengah orang yang pernah ternampak statement tu kat mana-mana. First impression masa aku ternampak ialah "oo..bunyik macam hadis sebab ada melibatkan sesuatu tentang hukum-hakam Allah,.tapi first time aku dengar (jikalau) ada hadis berbunyi camtu." Please, tell me the truth..kalau ada yang mengetahui.

Secara jujurnya, aku tak mahir bab-bab hadis ni tapi sesetengah orang mungkin berpendapat kalau diorang keluarkan hujah camtu atas dasar supaya tiada suami-suami yang menzalimi isteri, ianya tak apa. But, is it true? Aku sendiri tak tahu nak explain perkara tersebut. Sebab sebagai manusia yang lemah, sejauh mana yang kita boleh nampak untuk overestimate tentang hukum-hakam "beyond" daripada apa yang telah dinyatakan dalam Al-Quran atau panduan hadis sahih? Sejauh mana kita pasti yang sesuatu hujah tu boleh memberi 100% kebaikan dan tak ada langsung keburukan?

Berbalik kepada definisi hadis:

Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.

*adakah statement paling atas tu satisfy definition hadits (sanad bersambung)?

Nak ikutkan, banyak jenis-jenis hadis yang wujud. Salah satunya ialah hadis Daif atau hadis yang lemah (reference lemah, perawi diragui). Tinggalkan 100% hadis daif jugak tak patut a.k.a bidaah dan sebenarnya ada syarat untuk guna hadis Daif ni. First, tak boleh sandarkan 100% ke atas Rasululah walaupun ianya tak putus atas sebab kelemahan perawi sendiri. Second, hadis tak boleh terlalu lemah. Third, tak ada hadis lain yang membicarakan hadis tersebut punya content. Fourth, tak bercanggah dengan syarak. Even Imam Bukhari gunakan hadis daif dalam kitab Al-Adab dan Al-Mufrad.

Apa akan jadi kalau hadis daif dipegang setaraf dengan hadis sahih dalam masyarakat tanpa diorang tahu yang hadis tu bukan hadis sahih? Impression orang terhadap mudahnya Islam mungkin boleh berubah. Kalau suami tegur isteri tetibe si isteri tacing2 lalu menangis satu baldi air mata? Dalam rumah tangga, even perkara kecik pun boleh bagi perempuan nangis.. Contohnya apabila suami taknak manja-manja atau gedik-gedik dengan isteri. Si isteri sayang si suami tetapi suami itu terlampau sibuk dengan kerja untuk bermanjaan. Lalu si isteri pun menangis teresak-esak sambil masak kari kurang garam. Maka cuak berganda-gandalah si suami tersebut. Aku tak belajar ilmu tafsir..so, mungkin aku salah tafsir..begitu juga dengan orang lain. Sedangkan hadis sahih pun boleh ada orang salah tafsir, inikan statement kat atas tu. Kalau tak nak percaya 100% a.k.a tak yakin 100%, kenapa perlu meyakinkan orang lain sampai diorang percaya 100%.

Bab suami isteri ni banyak je sumber kita boleh carik. Try usha Kitab Muhimmah by Syeikh Abdullah Ibnu Abdur Rahim Fathani. Kalau nak interpret susah, suruh Ustaz Kazim cite..lol.

Explanation pasal suami menzalimi isteri.. Tak ada term suami "derhaka" kat isteri. Tapi ada term suami "derhaka" kat Allah kalau meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Hak isteri dan batas suami pun ada dinyatakan.

Another thing, pasal public figure... apabila sampaikan sesuatu kat orang ramai, assume 100% boleh terima pendapat kita. Which means kalau pendapat salah, 100% orang jadik salah. Aku taknak nyatakan conclusion aku pasal ayat kat atas sekali tu sebab aku tak cukup ilmu bab-bab ni. Kalau pasal matematik mungkin boleh. Sebaik-baiknya, tanyalah orang yang tahu.

"Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui." (AL-Jaatsiyah, ayat 18)

Tuesday, December 6, 2011

Bacaan Al-Quran Yang Menitiskan Air Mata + Info tentang puasa bulan Muharram



Info tentang puasa di bulan Muharram

[Di dalam kitab beliau Riyadhus Shalihin, Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- membawakan tiga buah hadits yang berkenaan dengan puasa sunnah pada bulan Muharram, yaitu puasa hari Asyura / Asyuro (10 Muharram) dan Tasu’a (9 Muharram)]

Hadits yang Pertama

عن ابن عباس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم صام يوم عاشوراء وأمر بصيامه. مُتَّفّقٌ عَلَيهِ

Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa padanya”. (Muttafaqun ‘Alaihi).

Hadits yang Kedua

عن أبي قتادة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم سئل عن صيام يوم عاشوراء فقال: ((يكفر السنة الماضية)) رَوَاهُ مُسلِمٌ.

Dari Abu Qatadah -radhiyallahu ‘anhu-, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari ‘Asyura. Beliau menjawab, “(Puasa tersebut) Menghapuskan dosa satu tahun yang lalu”. (HR. Muslim)

Hadits yang Ketiga

وعن ابن عباس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُما قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: ((لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع)) رَوَاهُ مُسلِمٌ.

Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada (hari) kesembilan” (HR. Muslim)

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa pada hari ‘Asyura, beliau menjawab, ‘Menghapuskan dosa setahun yang lalu’, ini pahalanya lebih sedikit daripada puasa Arafah (yakni menghapuskan dosa setahun sebelum serta sesudahnya –pent). Bersamaan dengan hal tersebut, selayaknya seorang berpuasa ‘Asyura (10 Muharram) disertai dengan (sebelumnya, ed.) Tasu’a (9 Muharram). Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada yang kesembilan’, maksudnya berpuasa pula pada hari Tasu’a.

Penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa pada hari sebelum maupun setelah ‘Asyura [1] dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi karena hari ‘Asyura –yaitu 10 Muharram- adalah hari di mana Allah selamatkan Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan para pengikutnya. Dahulu orang-orang Yahudi berpuasa pada hari tersebut sebagai syukur mereka kepada Allah atas nikmat yang agung tersebut. Allah telah memenangkan tentara-tentaranya dan mengalahkan tentara-tentara syaithan, menyelamatkan Musa dan kaumnya serta membinasakan Fir’aun dan para pengikutnya. Ini merupakan nikmat yang besar.

Oleh karena itu, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Madinah, beliau melihat bahwa orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura [2]. Beliau pun bertanya kepada mereka tentang hal tersebut. Maka orang-orang Yahudi tersebut menjawab, “Hari ini adalah hari di mana Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya, serta celakanya Fir’aun serta pengikutnya. Maka dari itu kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”.

Kenapa Rasulullah mengucapkan hal tersebut? Karena Nabi dan orang–orang yang bersama beliau adalah orang-orang yang lebih berhak terhadap para nabi yang terdahulu. Allah berfirman,

إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ

“Sesungguhnya orang yang paling berhak dengan Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya dan nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman, dan Allah-lah pelindung semua orang-orang yang beriman”. (Ali Imran: 68)

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling berhak terhadap Nabi Musa daripada orang-orang Yahudi tersebut, dikarenakan mereka kafir terhadap Nabi Musa, Nabi Isa dan Muhammad. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan manusia untuk berpuasa pula pada hari tersebut. Beliau juga memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi yang hanya berpuasa pada hari ‘Asyura, dengan berpuasa pada hari kesembilan atau hari kesebelas beriringan dengan puasa pada hari kesepuluh (’Asyura), atau ketiga-tiganya. [3]

Oleh karena itu sebagian ulama seperti Ibnul Qayyim dan yang selain beliau menyebutkan bahwa puasa ‘Asyura terbagi menjadi tiga keadaan:

1. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan Tasu’ah (9 Muharram), ini yang paling afdhal.

2. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan tanggal 11 Muharram, ini kurang pahalanya daripada yang pertama. [4]

3. Berpuasa pada hari ‘Asyura saja, sebagian ulama memakruhkannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi, namun sebagian ulama yang lain memberi keringanan (tidak menganggapnya makhruh). [5]

Wallahu a’lam bish shawab.

(Sumber: Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin terbitan Darus Salam – Mesir, diterjemahkan Abu Umar Urwah Al-Bankawy, muraja’ah dan catatan kaki: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Rifai)

CATATAN KAKI:

[1] Adapun hadits yang menyebutkan perintah untuk berpuasa setelahnya (11 Asyura’) adalah dha’if (lemah). Hadits tersebut berbunyi:

صوموا يوم عاشوراء و خالفوا فيه اليهود صوموا قبله يوما و بعده يوما . -

“Puasalah kalian hari ‘Asyura dan selisihilah orang-orang yahudi padanya (maka) puasalah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya. (HR. Ahmad dan Al Baihaqy. Didhaifkan oleh As Syaikh Al-Albany di Dha’iful Jami’ hadits no. 3506)

Dan berkata As Syaikh Al Albany – Rahimahullah- di Silsilah Ad Dha’ifah Wal Maudhu’ah IX/288 No. Hadits 4297: Penyebutan sehari setelahnya (hari ke sebelas. pent) adalah mungkar, menyelisihi hadits Ibnu Abbas yang shahih dengan lafadz:

“لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع” .

“Jika aku hidup sampai tahun depan tentu aku akan puasa hari kesembilan”

Lihat juga kitab Zaadul Ma’ad 2/66 cet. Muassasah Ar-Risalah Th. 1423 H. dengan tahqiq Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arna’uth.

لئن بقيت لآمرن بصيام يوم قبله أو يوم بعده . يوم عاشوراء) .-

“Kalau aku masih hidup niscaya aku perintahkan puasa sehari sebelumnya (hari Asyura) atau sehari sesudahnya” ((HR. Al Baihaqy, Berkata Al Albany di As-Silsilah Ad-Dha’ifah Wal Maudhu’ah IX/288 No. Hadits 4297: Ini adalah hadits mungkar dengan lafadz lengkap tersebut.))

[2] Padanya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa penetapan waktu pada umat terdahulu pun menggunakan bulan-bulan qamariyyah (Muharram s/d Dzulhijjah, Pent.) bukan dengan bulan-bulan ala Eropa (Jan s/d Des). Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa hari ke sepuluh dari Muharram adalah hari di mana Allah membinasakan Fir’aun dan pengikutnya dan menyelamatkan Musa dan pengikutnya. (Syarhul Mumthi’ VI.)

[3] Untuk puasa di hari kesebelas haditsnya adalah dha’if (lihat no. 1) maka – Wallaahu a’lam – cukup puasa hari ke 9 bersama hari ke 10 (ini yang afdhal) atau ke 10 saja.

Asy-Syaikh Salim Bin Ied Al Hilaly mengatakan bahwa, “Sebagian ahlu ilmu berpendapat bahwa menyelisihi orang Yahudi terjadi dengan puasa sebelumnya atau sesudahnya. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam,

صوموا يوم عاشوراء و خالفوا فيه اليهود صوموا قبله يوما أو بعده يوما .

“Puasalah kalian hari ‘Asyura dan selisihilah orang-orang Yahudi padanya (maka) puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”.

Ini adalah pendapat yang lemah, karena bersandar dengan hadits yang lemah tersebut yang pada sanadnya terdapat Ibnu Abi Laila dan ia adalah jelek hafalannya.” (Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadhus Shalihin II/385. cet. IV. Th. 1423 H Dar Ibnu Jauzi)

[4] (lihat no. 3)

[5] Asy-Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,

والراجح أنه لا يكره إفراد عاشوراء.

Dan yang rajih adalah bahwa tidak dimakruhkan berpuasa ‘Asyura saja. (Syarhul Mumthi’ VI)

Wallaahu a’lam.

sumber: ulamasunnah




P/s: biarlah bab pahala menjadi urusan Allah. Yang penting niat ibadah kerana Allah.

Please take your time for this =)